Kelompok Bimbingan Ibadah Haji & Umroh (KBIHU) Al-Khoiriyah

Sabtu, 07 Juli 2012

Benarkah Biaya Haji Indonesia Mahal?


Add caption

Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang dahulu dikenal dengan sebutan ONH, oleh sementara pihak sering dianggap mahal, bahkan termahal di dunia. Anggapan ini dapat dimengerti karena didasarkan atas perhitungan traveling biasa termasuk perjalanan umrah. Komponen biaya yang dihitung pada dasarnya terdapat kesamaan, yaitu tiket penerbangan PP, akomodasi, konsumsi, transportasi lokal, dan biaya operasional dan pemvisaan.
Pertanyaannya, mengapa terdapat perbedaan besaran padahal komponen dasarnya sama?
Jika diurai satu persatu, maka akan diperoleh penjelasan sebagai berikut:
1. Tiket penerbangan.
Pada sistem reguler yang diperhitungkan adalah biaya dari bandara ke bandara PP. Sedangkan pada sistem haji, perusahaan penerbangan tidak saja menghitung biaya airport to airport melainkan dari asrama embarkasi sampai kembali ke asrama debarkasi. Pola kerja operasional haji di embarkasi Tanah Air dan di embarkasi Arab Saudi yang 24 jam. mengakibatkan terjadinya pengeluaran tambahan, termasuk biaya angkutan dari asrama embarkasi/madinatul hujaj ke airport PP. Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk proses penyusunan jadwal dan penentuan slot di Arab Saudi.
2. Akomodasi.
Biaya akomodasi pada masa operasional haji secara umum diketahui bahwa relatif lebih mahal dibanding masa di luar musim haji. Di samping itu, sesuai dengan taklimatul haj (ketentuan perhajian) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Arab Saudi, bagi penyelenggara haji yang jumlahnya besar seperti Indonesia ini, diwajibkan juga menyewa rumah cadangan (1 persen) yang diperlukan untuk antisipasi evakuasi jika terjadi hal-hal yang di luar dugaan, seperti kebakaran. Berdasarkan kondisi bangunan perumahan di Makkah yang tidak sama dan variasi jumlah pembagian alokasi untuk setiap maktab, maka dimungkinkan terjadinya selisih distribusi pada setiap rumahnya. Biaya untuk rumah cadangan dan selisih distribusi harus disediakan, sementara pada travel yang reguler maupun umrah tidak menjadi beban.
3. Konsumsi.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pada saat operasional haji, kondisi di kota-kota perhajian penuh dengan jamaah, yang secara objektif akan berdampak terhadap penyediaan katering; terutama pada ketersediaan bahan baku, tenaga kerja professional, distribusi, dan pergudangannya. Hal ini berdampak terhadap nilai tawar pihak pengusaha katering, sehingga biaya katering haji tidak bisa sama dengan biaya katering umrah. Kondisi di Arafah dan Mina terlebih lagi menjadi lemah posisi negara-negara pengirim jemaah dengan jumlah besar, oleh karenanya pihak Muassasah kemudian mematok harga SR 300.- per orang untuk jamu (jamuan dan fasilitas) selama 3 hari di Arafah dan Mina. Bagi jamaah umrah tidak ada biaya-biaya Arafah dan Mina.
4. Transpor lokal di Arab Saudi.
Kebutuhan moda transportasi lokal pada musim haji juga sangat besar. Bahkan bagi jamaah haji negara-negara Teluk yang datang menggunakan mobil pribadi, harus pula menggunakan bus atau minibus untuk perjalanan Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Kebutuhan akan kendaraan besar (bus) yang sangat banyak itu, hanya terjadi pada saat operasional haji. Pada hari-hari berikutnya bus-bus tersebut kemudian dikandangkan untuk musim haji tahun yang akan datang. Investasi yang besar terhadap penyediaan bus dan pengelolaan bus di luar masa operasional haji, berdampak terhadap harga sewa bus. Sedangkan pada masa umrah harga sewa bus lebih rendah, karena kesediaan bus sangat mencukupi.
5. Biaya operasional dan pemvisaan.
Pelayanan yang sifatnya massal memang membutuhkan biaya ekstra. Apalagi kegiatan pelayanan haji sangat dibatasi waktunya, sehingga bekerja 24 jam setiap harinya. Kondisi ini jelas menuntut biaya tambahan operasional, terlebih lagi profil jamaah haji yang sebagian besar berpendidikan menengah ke bawah, kaum ibu-ibu, dan umur rata-rata di atas 50 tahun, menuntut pelayanan yang lebih besar yang memerlukan tenaga/petugas haji yang banyak. Kebutuhan pelayanan yang demikian itu, tidak saja semasa di Tanah Air, tetapi juga semasa di Arab Saudi, dan semasa dalam perjalanan.
Sedangkan biaya pemvisaan pada traveling biasa maupun umrah, hanya dihitung untuk mengurus visa di Kedubes Arab Saudi. Biaya pembuatan paspor dan mengantar paspor ke Jakarta menjadi beban yang bersangkutan. Pada kegiatan haji, biaya pemvisaan sudah mencakup pengadaan paspor, penelitian dan scaning, proses bolak-balik dari daerah ke provinsi, kemudian ke Pusat, serta distribusi kembali ke embarkasi. Kegiatan penyelesaian pemvisaan ini hampir setiap harinya dilakukan secara lembur baik di Kedubes Arab Saudi maupun di Departemen Agama. Sistem pemvisaan ini meringankan jamaah haji, karena jamaah haji di mana pun tempatnya, termasuk di pelosok jauh di sana tidak perlu harus pergi ke provinsi maupun ke Jakarta untuk mengurus paspor dan visanya.
Di samping adanya karakteristik pada pelayanan haji, kemahalan terjadi karena adanya dana titipan jemaah yang dikenal dengan sebutan ‘Living Cost’ sebesar 400 dolar AS atau SAR 1,500. Living cost tersebut dikembalikan kepada jamaah di pelabuhan embarkasi pada saat akan berangkat ke Arab Saudi.
Model living cost ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat direkomendasikan untuk tetap dipertahankan, karena sebagian besar jamaah haji terutama dari pedesaan mereka membayar BPIH atas dasar menabung, yang setelah dananya cukup sebesar BPIH dibayarkan untuk pergi haji, dengan pengertian seluruh kegiatan perhajian di Arab Saudi telah tertutupi dengan BPIH dimaksud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar